Leadership is...

Leadership is learnership

It's all about constant growth and achieving more than expected;

It's searching for opportunities in everyday activities and learning through experience;

It's about building skills for today and tomorrow.

(John F. Kennedy's undelivered speech as quoted by DDI's Achieving Your Leadership Potential Workbook)

Inbox

Monday, June 11, 2007

Good Governance vs Performance

Good Corporate Governance dan Kinerja Berkelanjutan
Oleh : Ahmad Emye

Akhir-akhir, isu tata kelola perusahaan (good corporate governance) kembali menjadi perbincangan hangat baik di kalangan praktisi manajemen publik maupun perusahaan, tidak terkecuali dikalangan pimpinan Pemerintahan. Setelah Presiden SBY menyatakan pelaksanaan good corporate governance (GCG) sebagai salah satu agenda penting pemerintahannya, Meneg BUMN, Sugiharto, juga menyatakan komitmen lembaganya untuk mendorong praktek GCG pada seluruh BUMN di negeri ini pada sebuah seminar tanggal 2 Maret 2006 lalu.

Pertanyaannya kemudian adalah; apakah penerapan GCG tersebut hanya sebuah tren sesaat, sebuah management fad and fashion? Atau praktek GCG merupakan sebuah keniscayaan organisasi publik dan atau perusahaan? Adakah nilai dan manfaat bagi organisasi pelaksana dari penerapan GCG tersebut baik secara langsung mempengaruhi Key Performance Indicators (KVI) maupun turut menentukan sebuah keberlangsungan sebuah organisasi? Tulisan ini mencoba mengurai beberapa pertanyaan tersebut.

Debat Soal Manfaat Good Corporate Governance
Terminologi good governance (GG) yang sering diartikan sebagai “tata pengelolaan yang baik” lebih dahulu dikenal dalam praktek manajemen modern. Bila ditelusuri lebih dalam, istilah tersebut sudah cukup populer sejak tahun 1950-an, saat ilmu manajemen tumbuh sebagai ilmu pengetahun (science). Dulu, penerapan praktek manajemen korporat atau lebih dikenal dengan good management practices sesungguhnya sejalan dan merupakan istilah lain dari terminologi GG yang kini kian populer. Sejak Word Bank memformulasikan istilah GG lengkap dengan indikator pengukurannya pada pertengahan tahun 90-an, terminologi ini menjadi platform umum bagi dunia manajemen, baik bagi korporat maupun pemerintahan. Sejak itulah, terminologi GG diartikan sebagai “tata kelola kepemerintahan yang baik” dalam khazanah dan wacana ilmu pemerintahan dan organisasi publik.

Di Indonesia dan negara-negara Asia Timur lainnya yang mengalami krisis ekonomi sejak pertengahan tahun 1997, isu mengenai GG telah menjadi bahasan penting dalam rangka mendukung pemulihan kegiatan dunia usaha dan pertumbuhan perekonomian setelah masa-masa krisis tersebut. Pada saat bersamaan, di tengah banyak dugaan mengapa perekonomian negara ini ambruk, terminologi ini juga muncul sebagai spirit para pengelola korporat dan organisasi publik untuk membangun kinerja organisasi pasca krisis ekonomi. Dalam perkembangannya, GG kemudian lebih dikenal sebagai Good Corporate Governance (GCG), baik untuk sektor usaha, organisasi publik dan birokrasi pemerintahan.

Sebagian praktisi manajemen meyakini bahwa kinerja korporat adalah resultan dari praktek manajemen yang baik secara terus menerus. Dengan kata lain implementasi GCG adalah keniscayaan (compulsary), namun sebagian lain beranggapan bahwa kinerja organisasi ditentukan oleh proses inti (core process) atau bottom line dari kegiatan organisasi, yakni proses dimana arus pendapatan (revenue stream) atau pelayanan diperoleh setinggi-tingginya, sebaliknya arus pengeluaran ditekan (cost stream) serendah-rendahnya. Pendapat kedua semakin tidak populer, sejak organisasi Internasional Organization for Standardization (ISO) yang berkedudukan di Swiss pada 1986 secara resmi membuat ketentuan yang melegitimasi pencapaian good management practice yang berbasis pada sistem manajemen mutu yang kuat dan berkesinambungan. Sejak itulah organisasi tersebut mengeluarkan pedoman berbagai pengakuan yang berbentuk sertifikasi terhadap sistem manajemen mutu perusahaan melalui seri ISO 9000 (1986, 1994, 2000) dan berbagai seri ISO lainnya.

Meskipun banyak praktisi manajemen mengakui praktek GCG akan menunjang kinerja korporasi, namun debat terhadap isu ini tidak pernah berhenti. Salah satu yang cukup mengemuka adalah soal keberhasilan kinerja korporat yang bukannya berbasis pada sistem yang kuat, melainkan lebih karena kekuatan proses inti seperti inovasi produk, efisiensi, dan diversifikasi. Kenyataan ini telah membuat pandangan pada sebagian praktisi manajemen bahwa praktek GCG sebenarnya adalah mitos. Bahkan mereka berpandangan bahwa praktek GCG telah mendorong korporat menjadi tidak lincah dan cenderung menciptakan inefisiensi. Dengan kata lain, dunia usaha cenderung menjadi lebih birokratis.

Praktek Good Corporate Governance di Indonesia
Sejak negeri ini terperosok dalam krisis ekonomi pada tahun 1997, seluruh aspek kehidupan dalam negeri ini sempat mengalami stagnasi. Parahnya, kenyataan tersebut tidak hanya dialami oleh pemerintah tapi juga organisasi bisnis. Banyak perusahaan misalnya yang harus mengetatkan segala bentuk pengeluarannya dalam menjalankan roda bisnisnya, sementara tak sedikit pula yang terpaksa harus merumahkan karyawan dan menghentikan operasinya. Mengapa hal ini terjadi? Tentu banyak hal yang bisa dijadikan alasannya. Namun yang jelas, tidak diterapkannya prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik menjadi salah satu alasan yang paling mengemuka saat itu. Sejak itulah, konsep GCG sebagai bagian dari langkah pembenahaan pengelolaan korporasi oleh banyak pihak mulai lebih dikenal dan diterapkan.

Belajar dari pengalaman tersebut, saat ini lebih banyak pihak sepakat bahwa implementasi dari GCG merupakan satu hal yang tidak dapat dihindarkan lagi dan menjadi satu prasyarat penting bagi kelangsungan dunia usaha dan perekonomian. Tidak kurang dari lembaga-lembaga multilateral seperti World Bank, Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), The Bassel Commite on Banking Supervision (dari The Bank for International Settlement/BIS yang bermarkas di Basel, Swiss), seluruhnya memberikan arahan pelaksanaan GCG. Lembaga-lembaga ini berpendapat kemajuan dalam penerapan GCG akan menolong negara-negara yang tertimpa krisis moneter untuk segera membangun kembali daya saing industri dan praktek pengelolaan negaranya, memperbaiki kepercayaan investor, serta mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Hal yang sama juga akan berlaku jika diterapkan dalam organisasi bisnis.

Kenyataan ini semakin diperkuat dengan semakin banyaknya konsultan-konsultan bisnis terkenal di dunia yang terlibat dalam mendorong dan memastikan penerapan prinsip-prinsip GCG. Sebut saja apa yang telah dilakukan McKinsey & Company pada tahun 2000 yang telah melakukan riset mengenai pelaksanaan GCG yang melibatkan para investor di Asia, Eropa, dan Amerika Serikat terhadap lima negara di Asia. Hasilnya, Indonesia dinyatakan sebagai peringkat terendah dalam pelaksanaan GCG. Belakangan, Indonesia Institute for Corporate Governance (IICG) juga pernah mengeluarkan indeks persepsi tentang tata kelola perusahaan dengan baik setiap tahun. Di Indonesia berbagai lembaga yang bergerak dalam bidang penerapan GCG bermunculan dan disambut oleh berbagai pimpinan organisasi publik dan perusahaan.

Jika ditelaah secara teoritis terdapat dua penyebab yang mendorong munculnya isu tentang GCG. Pertama, terjadinya perubahan lingkungan yang begitu cepat yang berdampak pada perubahan peta kompetisi pasar global. Bahkan dalam perjalanannya, kompetisi pasar global terus meningkat karena dipacu oleh kecanggihan teknologi dan deregulasi ekonomi. Akibatnya, fenomena ini berimplikasi terhadap eksistensi perusahaan melalui privatisasi dan restrukturisasi. Selain itu kompetisi pasar ini juga menyebabkan terjadinya turbulensi, stress, resiko tinggi dan ketidakpastian bagi perusahaan. Dalam kondisi seperti ini perusahaan kemudian dituntut untuk cepat tanggap dalam merespon ancaman dan peluang yang muncul serta harus tepat dalam merancang dan menggunakan strategi dan system pengendalian yang prima untuk mempertahankan kesinambungannya. Kedua, semakin banyak dan kompleksnya pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusahaan, termasuk rumitnya pola ownership structures, sehingga berimplikasi terhadap manajemen stakeholders.

Untuk menghadapi lingkungan dan kompetisi pasar seperti ini, maka keharusan akan adanya penerapan GCG bagi perusahaan menjadi semakin kuat serta tidak bisa dielakkan lagi. Pelaksanaan GCG di dalam perusahaan diharapkan mampu menghindari adanya praktek tidak terpuji yang dilakukan direksi, maupun bersama-sama pihak lain yang punya hubungan atau kepentingan di dalam tubuh perusahaan. Perjuangan untuk melahirkan dan menempatkan profesional yang jujur, memiliki integritas, bertanggung jawab, memiliki semangat kerja keras dan inovatif, serta independen, merupakan bagian dari upaya untuk mendukung pelaksanaan GCG.

Penerapan GCG dalam organisasi publik maupun perusahaan, penulis yakini akan menciptakan kinerja organisasi yang kuat dan berkelanjutan (sustainaible). Untuk itu, dalam merealisasikan GCG perlu ditopang oleh kekuatan sistem manajemen organisasi yang kuat dan sistemik. Hal ini akan terbangun apabila terjadi keseimbangan kepentingan antara semua pihak yang berkepentingan dengan organisasi (stakeholders) dalam rangka mencapai tujuan organisasi.

Perancangan perangkat organisasi dan sistem seperti: struktur, kebijakan, peraturan, pengawas, imbalan, dan sebagainya tidak akan berarti apabila tidak tersedianya oleh sistem pengendalian yang jelas. Untuk mengetahui apakah keseimbangan kepentingan telah tercipta maka sistem manajemen hendaknya dirancang sedemikian rupa sehingga mampu menciptakan iklim yang kondusif untuk mencapai apa yang diinginkan bersama.

Disamping itu, upaya menjalankan GCG secara maksimal, perlu didukung oleh sejumlah langkah, diantaranya; Pertama, Kekuatan visi pemimpin organisasi dan kepastian arah dan tujuan yang akan dicapai. Kedua, kepemimpinan manajerial yang kuat dan mampu mentransfer visi yang dimiliki kedalam praktek manajemen sehari-hari. Ketiga, tersedianya perangkat peraturan dan ketentuan yang harus berjalan paralel dengan kebutuhan pengelolaan usaha yang baik. Keempat, fungsi pengawasan dan penegakkan aturan yang berjalan. Kelima, terjalinnya hubungan profesional antara akuntan publik, konsultan hukum, dan professional lainnya. Keenam, adanya kemampuan dan pengetahuan eksekutif puncak dan para pengawas perusahaan (komisaris bila di perusahaan). Dengan dukungan semua pihak, penerapan prinsip GCG dalam perusahaan akan lebih menjamin kinerja organisasi secara kuat dan berkelanjutan.

1 comment:

shantee said...

Solusi yang baik. Tapi harus ada komitmen, konsistensi dan kejujuran untuk implementasi GCG. Semoga ga jadi euphoria dan tren sejenak..Coz bangsa ini butuh penyelamatan. Optimis dan Support mungkin sikap terbaik saat ini untuk GCG..Cayyoo