Leadership is...

Leadership is learnership

It's all about constant growth and achieving more than expected;

It's searching for opportunities in everyday activities and learning through experience;

It's about building skills for today and tomorrow.

(John F. Kennedy's undelivered speech as quoted by DDI's Achieving Your Leadership Potential Workbook)

Inbox

Monday, June 11, 2007

Kontroversi Pemasaran Pupuk WSF

KONTROVERSI PEMASARAN PUPUK WSF ?
Oleh: Ahmad Emye

“Keberhasilan untuk menciptakan kontroversi adalah kunci keberhasilan para pemasar”,

Demikian pernyataan kolega penulis yang merupakan salah seorang pendukung teknologi pupuk water stimulating feed (WSF), Prof. Roy Sembel, pada sebuah milis alumni IPB. Beberapa bulan lalu, pupuk WSF telah menjadi “geger” nasional di kalangan petani. Temuan teknologi pupuk WSF ini telah menyulut kontroversi sejak Presiden SBY menerima penemu teknologi ini (Ir. Umar Saputra) yang didampingi para pendukungnya (diantaranya Prof. Roy Sembel dan Ir. Ciputra) pada tanggal 03/09/2006 dan 06/09/2006 di Cikeas dan Istana, bahkan ketiganya telah mempresentasikan temuannya dihadapan Rapat Kabinet lengkap dan 33 gubernur seluruh Indonesia tanggal 07/09/2006. Kepala Negara juga menyatakan bahwa penemu teknologi WSF layak menerima hadiah nobel mewakili negeri ini. Kontroversi ini telah dibahas secara proporsional oleh ahli tanah IPB, Prof. Iswandi Anas, pada harian ini (Kompas, 9/9/2006).

Nampaknya kontroversi yang diharapkan oleh para pendukung teknologi ini tercapai, pemberitaan tentang teknologi ini telah menyita pemberitaan berbagai media nasional. Teknologi ini dinilai Kepala Negara sebagai “jalan pintas” upaya peningkatan produktifitas lahan pertanian untuk menuju lumbung pangan dunia pada tahun 2008. Terobosan sejenis pupuk WSF ini telah lama ditunggu-tunggu, yang ironisnya bukan ditemukan oleh Deptan dan puluhan lembaga-lembaga penelitian yang selama ini dibiayai negara terus-menerus. Tidak mengherankan, dalam hitungan hari, Kepala Negara memfasilitasi presentasi temuan ini dihadapan anggota kabinet lengkap dan puluhan gubernur, sebuah dukungan politik yang amat luar biasa, mengingat jadwal dan kesibukan Kepala Negara yang padat menjelang keberangkatannya ke luar negeri pada tanggal 09/09/2006.

Sebagai pendukung awal teknologi ini, Prof. Roy Sembel tentunya tidak sembarangan saat memutuskan diri menjadi expert advisor, ia telah menguji produk ini pada pohon-pohon miliknya di Lembang, bahkan berani mengkonsumsi langsung salah satu turunan produk ini yang versi keseimbangan postur, ia teruji berhasil menurunkan bobot tubuhnya sampai 4 kg dalam kurun waktu 3 minggu. Ini tentunya merupakan kabar baik bagi para penderita obesitas, sebuah eksperimen yang luar biasa diterapkan pada diri sang pendukung sendiri. Belakangan, melalui surat terbuka yang disebarkan sejumlah milis, Prof. Dr. Roy Sembel menyatakan bahwa sejak tanggal 08/09/2006 ia telah mengakhiri tugasnya sebagai expert advisor dari Saputra Group, produsen pupuk WSF ini. Menurutnya, bola teknologi WSF saat ini telah berada pada orang-orang yang kompeten, Ir. Ciputra, dan Kepala Negara, yang memiliki otoritas untuk menguji dan menyebarluaskan produk ini.

Prof. Iswandi Anas, pada tulisannya di Harian Kompas (09/09/2006) telah mengingatkan agar teknologi WSF ini diuji dengan metode yang lebih dapat dipertanggungjawabkan. Meskipun, pengujian yang ilmiah juga telah diminta Ir. Ciputra kepada IPB setelah pertemuan dengan Kepala Negara tersebut, yang selain bertujuan untuk menguji dan memastikan “kedahsyatan” produk ini, juga untuk melindungi petani dari produk yang boleh jadi potensial merugikannya; sebuah permintaan yang wajar dan terpuji. Prof. Iswandi menyarankan agar produsen, masyarakat dan semua pihak bershabar untuk komersialisasi produk ini sampai pengujian lembaga independen (IRRI, IPB, UNIBRAW, dll) selesai, demi melindungi kepentingan semua pihak.

Tulisan ini tidak bermaksud melibatkan diri pada kontroversi yang berkepanjangan, namun akan melihat sisi pemasaran produk teknologi WSF ini yang penulis nilai amat fenomenal. Uraian berikut terdiri atas dua skenario yang mengacu pada asumsi yang berbeda, yang bersumber dari pertanyaan; apakah nutrisi WSF ini merupakan produk nutrisi yang tunduk pada hukum pasar ataukah sebagai produk “pupuk” yang masuk kategori sarana produksi pertanian (saprotan) yang “wajib” melibatkan negara sebagai penangungjawab, pelindung dan pendorong penggunaan teknologi ini?

Pupuk WSF Sebagai Sarana Produksi Pertanian
Bila pupuk WSF ini masuk dalam kategori pupuk sebagaimana dikenal dalam kosa kata pembangunan pertanian, maka WSF akan mengikuti kaidah sebagai salah satu unsur sarana produksi pertanian (saprotan) yang kehadirannya wajib dilindungi dan didorong pemerintah. Bila asumsi ini yang digunakan, maka penulis setuju dengan saran Prof. Iswandi Anas, bahwa selayaknya produsen, masyarakat dan semua pihak yang terlibat dalam pengadaan dan distribusi pupuk WSF untuk bershabar, sambil menunggu proses pengujian terbuka lembaga independen seperti IRRI, IPB, atau UNBRAW dan lain-lain. Bila teruji baik, pemerintah dapat meneruskan sejenis program Bimas pada masa lalu yang mendorong penggunaan pupuk, terutama pupuk-pupuk organik secara massal untuk peningkatan produktifitas pertanian nasional, baik yang berasal dari WSF, Agrobost, Katri dan merek-merek lainnya.

Sepengetahuan penulis, kecuali pupuk WSF, pupuk-pupuk organik yang berkembang di pasaran saat ini digunakan untuk mengurangi pupuk urea (bukan menghilangkan penggunaannya) secara signifikan untuk meningkatkan produktifitas lahan pertanian tanaman pangan, perkebunan dan bahkan pupuk organik banyak digunakan untuk perikanan. Tidak heran, produk-produk pupuk organik cair tidak dianggap sebagai pesaing oleh para pelaku industri pupuk urea seperti PT. Pusri, PT. Pupuk Kujang, PT. PIM dan lain-lain. Sepengetahuan penulis, pupuk WSF ini dikenal sekitar dua tahun lalu untuk meningkatkan produktifitas lahan pertambakan udang di Karawang, yang tentu saja hasil pengujiannya dapat dipublikasikan kepada masyarakat.

Sebagai salah satu komponen saprotan dalam usaha pertanian, bila kemudian telah teruji secara massal, pupuk WSF ini juga selayaknya mendapat izin dari departemen pertanian (c.q. Ditjen Tanaman Pangan), sebagai produk pupuk yang dapat disebarluaskan pada masyarakat sehingga upaya peningkatan pembangunan pertanian dapat dilakukan tanpa harus mempertaruhkan nasib para petani, yang potensial menjadi korban dari kebijakan yang dikeluarkan tergesa-gesa. Dengan demikian, “nutrisi” teknologi WSF ini dapat dikategorikan sebagai pupuk unggulan yang dapat menjadi kebutuhan saprotan usaha pertanian.

Pupuk WSF Sebagai Produk Komersial
Salah satu “kitab suci” yang paling banyak digunakan para pemasar tentang batasan pemasaran adalah pernyataan pendek Kotler dan Keller (2006) yang menyatakan pemasaran sebagai “meeting needs profitably”. Sebuah upaya perusahaan untuk memanfaatkan kebutuhan (needs) individual dan sosial sebagai kegiatan yang menguntungkannya. Dalam batasan yang lebih lengkap, American Marketing Association (AMA) menyatakan pemasaran sebagai “organizational function and set of processes for creating, communicating, and delivering value to customers and for managing customer relationships in ways that benefit the organization and its stakeholders”. Menciptakan nilai (yang merupakan fungsi dari manfaat dibagi oleh keseluruhan biaya yang dikeluarkan) bagi pelanggan yang dibidiknya dan mengelola hubungan relasional dengan mereka adalah dua tugas utama para pemasar.

Peter Drucker bahkan menyatakan bahwa penjualan (sales) hanyalah salah satu peran kecil para pemasar, karena yang terpenting adalah memahami apa yang dibutuhkan dan diinginkan pasar atau pelanggan untuk selanjutnya harus dipenuhi perusahaan. Selain definisi manajerial diatas, para pemasar juga mengenal definisi yang menunjukkan peran pemasaran didalam masyarakat yang menekankan upaya “mengantarkan standar hidup yang lebih baik”. Secara lugas, Kotler dan Keller (2006) menyatakan definisi pemasaran sosial sebagai “societal process by which individuals and groups obtain what they need and want through creating, offering, and freely exchanging products and services of value with others”

Pada konteks pemasaran pupuk, definisi tersebut menjelaskan bahwa kegiatan pemasaran pupuk tidak semata-mata kegiatan penjualan yang merupakan salah satu saja dari kegiatan dalam rangkaian pemasaran. Pemasaran pupuk sejatinya meliputi rangkaian proses yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan petani dan keinginan mereka untuk meningkatkan kesejahteraannya melalui proses penciptaan produk yang memiliki sekumpulan (bundle) manfaat dengan resiko pengorbanan mereka sebagai pengguna. Ada resiko besaran uang karena mereka harus membeli produk tersebut, ada juga resiko mereka harus menghadapi hasil yang sebaliknya bila produk pupuk WSF gagal memacu peningkatan yang diharapkan, dan resiko-resiko lainnya yang dihadapi petani.

Secara etis, adalah kewajiban produsen pupuk WSF untuk mengurangi resiko ini, sehingga pada ujungnya petani akan mendapat nilai yang terbaik (superior customer value). Dalam upaya memenuhi kebutuhan petani tersebut, peneliti pupuk WSF ini telah menghabiskan waktu lebih dari 10 tahun untuk melakukan penelitian, sebuah dedikasi yang luar biasa. Bila ternyata manfaat pupuk ini teruji, dan sebaliknya resiko semakin kecil, maka nilai bagi petani akan meningkat. Pada gilirannya, proses pemasaran produk ini akan mensejahterakan petani, sekaligus menguntungkan perusahaan penghasil WSF. Pada ujungnya, diharapkan pemasaran akan mengantarkan masyarakat pada standar hidup lebih baik bagi petani. Namun bila hasilnya sebaliknya, padahal produk ini digunakan karena mendapat endorser Kepala Negara dan para gubernur seluruh Indonesia, maka petani akan menjadi korban yang dirugikan. Pada asumsi ini, petani bisa menggunakan yayasan lembaga konsumen Indonesia (YLKI) untuk mengadukan nasibnya, atau melalui asosiasi-asosiasi seperti HKTI, INKUD, Dekopin dan lain-lain.

Dalam perspektif strategi komunikasi pemasaran, peran endorser Kepala Negara sangat signifikan karena mempengaruhi kekuasaan (power) untuk melakukan mobilisasi dukungan terhadap penggunaan produk pupuk WSF ini. Sepengetahuan penulis, ini merupakan fenomena pemasaran produk komersial yang belum pernah terjadi di negara manapun di dunia. Apakah hal ini etis dilakukan Kepala Negara atau tidak, menurut hemat penulis berpulang kepada para pelaku industri pupuk di negeri ini. Dalam konteks persaingan usaha, bila niat baik Kepala Negara tidak hati-hati dijaga oleh produsen pupuk WSF, maka dapat potensial mengundang perhatian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) atau pihak-pihak yang menentang praktek monopoli bisnis di negeri ini.

Dengan pertimbangan ini, maka peran merek lain seperti pupuk organik Agrobost (Kompas, 11/09/2006), Katri dan merek-merek lain sebaiknya juga mendapat kesempatan yang sama untuk dikenal masyarakat. Para produsen merek semua pupuk tersebut dituntut untuk melakukan strategi pemasaran yang pas, terutama komunikasi pemasaran terhadap masyarakat, untuk “bersaing” sehat dengan WSF dalam arena pasar yang amat terbuka dan luas. Peran pemerintah, melalui departemen teknis dapat menjadi “wasit” yang adil dan pihak yang dapat memfasilitasi persaingan yang sehat. Peran pemerintah juga, melalui aparat penegak hukum, dapat memaksa para produsen untuk menarik produknya yang berada di pasar bila telah teruji produknya memiliki potensi merugikan masyarakat.

Pada konteks ini, tanggungjawab sepenuhnya terhadap keberadaan produk pupuk organik di pasar ada pada produsen. Produsen WSF, Agrobost dan Katri harus siap untuk dituntut para konsumennya bila terjadi unsur yang dapat merugikan petani, dianggap melakukan kebohongan publik, atau ditinggal pelanggannya bila hasilnya tidak signifikan. Contoh tanggungjawab produsen terhadap pelanggannya dapat ditemukan pada berbagai kasus pemasaran produk lainnya di negeri ini, seperti penarikan produk-produk makanan yang diduga mengundang unsur tidak halal dan penarikan salah satu merek obat nyamuk bakar dari pasaran. Kasus-kasus seperti itu banyak terjadi di negara-negara maju, seperti penarikan ulang (recall) obat sakit kepala di AS, penarikan laptop di beberapa negara Asia, penarikan salah satu merk mobil dari pasaran dan sejenisnya, dan menggantinya dengan produk yang lebih terjamin atau pengembalian dana pembelian beserta tambahan kewajiban lainnya kepada konsumen yang telah terlanjur dirugikan.

Reputasi Endorser Pemasaran
Akhirnya, semua berpulang kepada asumsi apa yang digunakan oleh pemerintah dalam menghadapi “geger” nasional ini? Niat baik Kepala Negara juga selayaknya difasilitasi oleh para pembantu-pembantunya agar mendapatkan mediumnya yang pas. Menteri Pertanian wajib berperan aktif dalam soal ini. Bila produk WSF ini diasumsikan sebagai produk pemasaran komersial biasa -- sebagai sebuah nutrisi makanan -- bukan pupuk yang penyebarluasannya harus diproteksi negara, berarti Kepala Negara telah menjadi endorser yang berhasil pada pemasaran komersial produk ini. Meskipun kurang etis dalam kacamata persaingan bisnis, hal ini dapat dipandang sebagai fenomena bisnis yang sah-sah saja, kecuali ada pihak yang merasa dirugikan karena tidak mendapatkan kesempatan yang sama.

Namun bila produk ini diasumsikan sebagai produk pupuk yang wajib mendapat legitimasi dari instansi yang berwenang, maka tentunya semua pihak hendaknya bershabar menunggu hasil pengujian sejumlah lembaga independen yang saat ini sedang dilakukan. Lebih baik menunggu 3-4 bulan yang memberikan jalan dan fondasi yang kuat, ketimbang berlari cepat namun berisiko besar, mempertaruhkan kepentingan semua pihak, terutama Kepala Negara.

Sebagai sebuah kejadian pemasaran yang fenomenal, Pupuk WSF ini mempertaruhkan kredibilitas atau reputasi banyak pihak, terutama Kepala Negara dan semua pihak yang sudah terlanjur mempercepat langkah komersialisasi pupuk ini di daerah-daerah. Gubernur Jawa Timur telah mengumpulkan semua dinas-dinas pertanian di wilayahnya pada tanggal 21/09/2006 untuk mengadopsi penggunaan pupuk WSF ini secara massal. Charles J. Fombrun (1996) dalam bukunya yang berjudul Reputation: Realizing Value from the Corporate Image, menanyakan mengapa orang begitu cepat memilih produk, penyedia barang atau jasa yang direkomendasikan oleh anggota keluarga, teman, atau seseorang yang dipercaya ? Jawabannya jelas karena “you bought them based on their reputation”. Dalam kasus pupuk WSF ini, tentunya para petani percaya Kepala Negara, Ciputra, Prof. Roy Sembel, para Gubernur, Kepala Dinas Pertanian, dan para Petugas Penyuluh Lapangan (PPL). Bila demikian, mari kita tunggu hasil pengujian, bila pupuk WSF ini dianggap sebagai produk pupuk bagi petani, bukan produk komersial belaka.

1 comment:

Unknown said...

Pemakai WSF terbesar d rawajitu lampung & Berhasil d Diaplikasikan ketambak Udang tradisional & sy sendiri yg langsung menanganinya & bisa meningkatkan produsitas udang windu ...Pak umar & bu Qori perna sy undang ke lokasi rawajitu lampung ...kenapa sy baru teriak sekarang karena sy baru tau tulisan2 d atas ...pemerintah seharusnya berterima kasih & membiayai penemu2 seperti pak umar hasan saputra ...sy d rawajitu membina hampir 400 petambak udang tradisional & Berhasil memakai WSF ...salam ANDRE