Leadership is...

Leadership is learnership

It's all about constant growth and achieving more than expected;

It's searching for opportunities in everyday activities and learning through experience;

It's about building skills for today and tomorrow.

(John F. Kennedy's undelivered speech as quoted by DDI's Achieving Your Leadership Potential Workbook)

Inbox

Monday, June 11, 2007

Cara Baru Memandang Pasar dan Pelanggan

CARA PANDANG BARU CEO TERHADAP PASAR DAN PELANGGAN
Oleh : Ahmad Emye

Lebih dari satu dekade yang lalu Gary Hamel dan C.K. Prahalad mempublikasikan pemikirannya yang brilian tentang perlunya memperkuat kompetensi inti (core competence) yang diperlukan bagi perusahaan untuk dapat mempertahankan daya saingnya. By definition, kompetensi ini adalah, kemampuan perusahaan untuk menciptakan nilai (value) bagi pasar dan pelanggannya yang bersumber dari kapabilitas unik (distinctive capabilities) yang dimiliki dan terus dikembangkan perusahaan. Argumentasi Hamel dan Prahalad (1994) ini mengawali arus besar kesadaran para pimpinan puncak perusahaan dan industri di dunia untuk melakukan revitalisasi bisnis, setelah era perkembangan dan ekspansi usaha yang dimungkinkan oleh konsep diversifikasi bisnis vertikal dan horizontal menjadi trend pada tahun 80an. Saat itu, para pimpinan puncak bertanya tentang esensi dari bisnis masing-masing -- apakah perusahan mampu menciptakan value yang berkelanjutan bagi pasar dan pelanggannya? Yang sekaligus dapat menjamin return yang bernilai bagi perusahaan?

Jawaban atas pertanyaan tersebut agak panjang, mengingat setiap industri yang dimasuki masing-masing Strategic Business Unit (SBU) memiliki perilaku pelanggan yang berbeda, pesaing yang berbeda, lingkungan bisnis yang berbeda dan rule of the game yang berbeda. Dalam bahasa sekolahan bisnis, setiap industri memiliki logic of business dan key success factors sendiri-sendiri. Sebagai akibat dari diversifikasi usaha tersebut, banyak kelompok-kelompok perusahaan yang lamban menghadapi perubahan lingkungan, terlebih lagi menghadapi krisis yang berkepanjangan. Sejak saat itu, para pemimpin puncak lebih menyadari pentingnya inovasi dan pembelajaran terus-menerus sebagai kunci daya saing perusahaan, terlebih lagi pada era teknologi informasi, dimana sekat-sekat ideologi, industri, pasar semakin tak berbatas (borderless) seperti dipaparkan oleh Kenichi Ohmae dalam The End of the Nation State (1995). Namun, Hamel dan Prahalad (1993) tidak menjelaskan pasar dan industri apa yang selayaknya dibangun pada karyanya, keduanya lebih banyak memprovokasi para pemimpin bisnis untuk membaca dengan cerdas kecenderungan-kecenderungan masa depan tentang, pasar, pesaing, produk masa depan yang boleh jadi berbeda dengan apa yang dilakukan perusahaan saat ini. Keduanya tidak menjelaskan tentang apakah pasar dan industri yang dihuni para inkumben atau pasar dan industri baru yang harus diciptakan yang lebih bernilai bagi perusahaan? Dalam konteks ini, Kim dan Mauborgne (2005) memberikan nilai lebih dan sekaligus membekali para CEO dengan tools yang praktis untuk menjalankan prinsip-prinsip strategi lautan biru (blue-ocean strategy).

Adakah yang berubah saat ini setelah kesadaran itu muncul? nampaknya tidak, justru semakin memperkuat keyakinan para pimpinan puncak terhadap perlunya inovasi dan kepemimpinan kuat untuk menjalankan revitalisasi bisnis. Para CEO seluruh dunia semakin menyadari makna inovasi yang terus menerus yang menjamin daya saing perusahaan (lihat juga Nonaka dan Takeuchi dalam Hitosubashi on Strategy, 2004) dan perlunya kepemimpinan yang kuat untuk menggerakan perubahan, tipe kepemimpinan yang lebih berorientasi pada substansi ketimbang berorientasi pada glorious dan publisitas (lihat juga Jim Collins dalam Good to Great, 2002). Semakin disadari bahwa pembelajaran terus-menerus yang dilakukan perusahaan terhadap pelanggan, pasar, pelaku pasar pada industri lain, pesaing dan lain-lain adalah sumber atau prasyarat terjadinya inovasi terus-menerus.

Terlebih lagi pada situasi bisnis di Indonesia, setelah banyak perusahaan berguguran selama krisis, para pimpinan puncak perusahaan negeri ini harus melakukan revitalisasi bisnis. Data yang dilansir oleh Thomas Wibisono dari PDBI menunjukkan, tercatat 2,622 perusahaan dilikuidasi selama krisis, tidak termasuk 240 perusahaan merger selama krisis yang juga mengalami nasib yang sama (Bisnis Indonesia, 21/01/2005). Buku Kim dan Mauborgne (2005) ini mengajak para CEO untuk memikirkan kembali pilihan dan cara mengendalikan bisnisnya, pertumbuhan laba usaha yang dinikmati saat ini tidak menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan bila perusahaan alpa melakukan perubahan dan inovasi yang bernilai bagi pasar dan pelanggan. Para CEO perusahaan-perusahaan di Indonesia akan dikenang sebagai pembuat perubahan (change makers) atau sebaliknya, menjadi para pemimpin bisnis biasa-biasa saja yang meredup seiring dengan tenggelamnya perusahaan yang tidak bergerak ditengah para pebisnis lain yang bersukacita melakukan revitalisasi bisnisnya. Memang, perubahan harus dimulai dari para CEO.

No comments: