BLUE OCEAN STRATEGY:
PARADIGMA BARU STRATEGI BISNIS
Oleh : Ahmad Emye
(Tulisan ini dimuat di Majalah CEO, Agustus 2005)
Cara pandang kita selama ini tentang strategi memenangkan persaingan banyak dipengaruhi oleh pandangan berbasis kompetisi (competition-based view) yang berakar dari pemikiran structure-conduct-performance, dimana sepanjang pebisnis bisa memilih industri yang masih atraktif, maka pebisnis tinggal memilih strategi berbiaya rendah (low cost producer), diferensiasi (differentiation), atau fokus (focus). Untuk menganalisis industri apakah masih menarik atau tidak, alat analisis yang banyak digunakan umumnya metode five-forces yang terdiri atas analisis posisi tawar pembeli, posisi tawar pemasok, ancaman pendatang baru, ancaman produk pengganti, dan situasi persaingan antar pemain, atau metode competitive profile matrix (CPM) yang memetakan situasi kompetisi pada sebuah industri yang dihuni para pesaing yang teridentifiaksi oleh pebisnis, selain banyak metode lainnya seperti 7S McKinsey, Matriks BCG dan lain-lain. Dalam catatan peresensi, teknik penentuan strategi bisnis five-forces sampai akhir tahun 90an paling banyak dipelajari di sekolah-sekolah bisnis yang mengadopsi pemikiran Profesor dari Harvard Business School, Profesor Michael E. Porter, yang mempublikasikan bukunya yang fenomenal, Competitive Strategy (1980). Sebelum pemikiran Porter tersebut, para pebisnis gandrung melakukan analisis SWOT yang diperkenalkan oleh Kenneth Andrew pada awal tahun 70an. Dalam pemikiran competition-based view ini, amatlah tidak mungkin menciptakan pertumbuhan laba dari industri yang tidak menarik (attractive). Para konsultan manajemen yang menggunakan tools matriks Boston Consulting Group (BCG), biasanya merekomendasikan strategi divestasi terhadap strategic business unit (SBU) yang berada pada industri yang sedang mengalami perlambatan atau melakukan inovasi produk bila posisi arus kas masih memungkinkan untuk melakukan rebounding.
Namun pemikiran berbasis competition-based view diatas memperoleh kritik tajam dan konstruktif dari dua orang pakar manajemen dari INSEAD, sekolah bisnis yang berbasis di Fontaineblue, Perancis, W. Chan Kim dan Renee Mauborgne yang baru-baru ini meluncurkan karyanya Blue Ocean Strategy: How to Create Uncontested Market Space and Make the Competition Irrelevent. Setelah melalui riset 15 tahun terhadap 30 industri yang melakukan perpindahan strategi (strategic moves) selama kurun waktu tahun 1880-2000, kedua pakar tersebut mengajukan argumentasi bahwa berkompetisi dalam sebuah pasar pada suatu industri bukanlah satu-satunya cara perusahaan untuk membangun keunggulan daya saing perusahaan, namun keunggulan tersebut dapat terbangun melalui kemampuan perusahaan merekonstruksi pasar dan industri yang ada menjadi pasar dan industri baru yang memiliki rule of game baru. Berkompetisi pada sebuah industri dengan cara memperebutkan pasar yang sudah ada dengan cara saling “membunuh” antar pemain (zero-sum-game) adalah paradigma bisnis lama yang tidak menjamin keberlanjutan bisnis. Keduanya menunjukkan fakta bahwa perusahaan-perusahaan yang diakui unggul dalam In Search Excellence karya Thomas J. Peters dan Robert Waterman (1980) banyak yang berguguran, demikian halnya perusahaan-perusahaan yang dikategorikan visionary companies dalam Built to Last, hasil penelitian Jim Collins dan Jerry Porras (1993) banyak yang berhenti tumbuh pada industri yang masih atraktif.
Prof. Kim dan Prof. Mauborgne yang 20 tahun lalu berstatus murid dan guru tersebut, kini keduanya kolega di INSEAD, membuat analogi menarik -- strategi yang mengandalkan persaingan pada industri yang sama dengan logika bisnis lama -- disebut dengan strategi samudera merah (red-ocean strategy). Pada paradigma persaingan ini, pasar diperebutkan dengan ketat, dimana arena persaingan dibatasi oleh industri, baik industri yang sedang tumbuh, stabil atau menurun. Perang inovasi dan diferensiasi produk, merek, harga, promosi, efisiensi, downsizing, restrukturisasi dan perang bisnis lainnya dalam lapangan pembantaian (killing field) berlangsung terus-menerus untuk menghasilkan pemenang diatas kekalahan para pesaingya. Mereka yang kalah, lantas melakukan sejumlah langkah-langkah strategis yang dibutuhkan untuk berupaya mengambil alih pasar yang sama, demikian seterusnya.
Setelah mempelajari perpindahan strategi (strategic moves) terhadap 30 industri, termasuk pada industri otomotif, komputer dan bioskop, Prof. Kim dan Prof. Mauborge menyimpulkan bahwa perusahan-perusahaan yang berdaya saing adalah mereka yang mampu menciptakan (creating) lingkungan pasar dan industri baru. Keduanya membuktikan bahwa membuat rule of game baru dalam sebuah industri yang sudah mapan, baik bagi industri yang masih menarik atau tidak (berbeda dengan red-ocean strategy), diantaranya dengan cara menciptakan pasar yang terdiri atas kelompok pelanggan baru, menciptakan produk-produk yang diminati pelanggan-pelanggan baru tersebut, menciptakan struktur biaya industri yang baru, dan rekonstruksi industri diluar dari kebiasaan-kebiasaan lama pada sebuah industri, yang selanjutnya akan menciptakan daya saing baru yang meninggalkan para inkumben, yakni para pesaing lama yang boleh jadi amat berkuasa pada paradigma pasar lama. Dalam bahasa lain, langkah-langkah para pelaku strategic moves ini telah membuat persaingan menjadi tidak relevan!. Inilah yang disebut kedua pakar tersebut sebagai strategi samudera biru (blue ocean strategy). Sepanjang catatan peresensi, analisis pada strategic moves sebagai unit analysis merupakan analisis baru, umumnya periset menggunakan perusahaan (firms) sebagai unit analysis.
Kemampuan menciptakan ruang pasar yang tidak diperebutkan dan membuat kompetisi yang diperebutkan para inkumben menjadi tidak relevan adalah kunci daya saing perusahan-perusahaan yang menggunakan paradigma blue ocean strategy. Strategi ini akan ‘”menggeser” dan “memperluas” pasar bagi pelanggan potensial, sehingga nilai (value) tercipta berbeda pada pasar yang telah bergeser dari pasar sebelumnya yang diperebutkan para inkumben. Contoh perusahaan yang sering disebut dalam buku yang telah menjadi international best seller ini, perusahaan penyedia hiburan -- Cirque du Soleil -- adalah contoh sempurna dari penerapan paradigma blue ocean strategy. Perusahaan yang berdiri pada tahun 1984 ini telah menampilkan produk pertunjukan yang ditonton oleh lebih 40 juta di lebih dari 90 kota di seluruh dunia. Selama kurang dari dua puluh tahun Cirque du Soleil telah mencapai pendapatan setara dengan para inkumben yang sudah eksis lebih lama, Ringling Bros dan Barnum & Baily. Kedua nama terakhir adalah pemimpin pasar (market leader) dalam industri sirkus dunia. Cirque du Soleil justru tumbuh pada sebuah industri yang sedang menurun, yang menurut Porter (1980) tidak menarik (unattractive) lagi. Saat para penyedia sirkus terjebak pada kompetisi yang ketat, dimana sirkus hanya dinikmati oleh para penonton anak-anak, dengan atribut-atribut pertunjukan yang konvensional seperti badut, binatang dan akrobat pemain, Cirque du Soleil membawa terobosan baru dalam industri pertunjukan tersebut. Mereka menampilkan pertunjukan yang berbeda dengan berbagai modifikasi tempat yang lebih artistik, disain acara yang kreatif dengan lelucon badut yang lebih cerdas (bukan slapstick), memasukan unsur yang selama ini tidak dianggap bukan unsur sirkus, seperti cerita, musik berkelas, tarian tarian modern dan berbagai kegiatan yang bersifat live, sehingga menarik minat pelanggan-pelanggan baru yang sudah jenuh dengan pertunjukkan sirkus yang konvensional. Terhadap penawaran yang kreatif dan cerdas ini, pelanggan di berbagai belahan dunia berduyun-duyun menantikan setiap pertunjukan yang bisa berbeda-beda pada setiap event mereka.
Paradigma blue ocean strategy telah mengantarkan berbagai perubahan yang radikal pada berbagai industri. Kedua pengarang mereview perjalanan rekonstruksi industri pada industri otomotif (kasus model T Ford, variasi warna mobil dari General Motor, revolusi kendaraan kecil dan irit Jepang, Minivan dari Crysler), industri komputer (mesin penghitung, komputer elektronik main frame, personal computer, PC server, penjualan langsung Dell), industri layar lebar (multiplex, megaplex) dan lain-lain. Peresensi menyarankan agar para pembaca tidak melewatkan bagian Appendix B pada buku ini, dimana kedua penulis menyajikan pembahasan khusus tentang aliran pemikiran (school of thought) utama pada disiplin ilmu manajemen strategis, yakni pemikiran industrial organization (IO) yang berbasis pada pemikiran a structure-conduct-performance yang menjadi rujukan para structuralist seperti Bain, Porter, Pierce & Robinson, Robert Grant, dan lain-lain. Sedangkan perspektif lain adalah pemikiran rekonstruktif yang berbasis pada reconstructionist seperti Schumpeter, Edith Penrose, Jay Barney, Wernerfelt, Nonaka & Takeuchi dan lain-lain, dimana pengetahuan, inovasi dan faktor endogenous lainnya menjadi pengendali utama daya saing perusahaan. Catatan peresensi, isu-isu kontemporer knowledge management, dynamic capabilities, core competence, strategic intent, learning organization dan sejenisnya muncul dari para penganut paradigma rekonstruksi ini, seperti Crys Argyris (Learning Orientation), Gary Hamel, C.K. Prahalad (Core Competence), Peter Senge (Learning Organization), Nonaka dan Takeuchi (Knowledge Management), James Moore (The Death of Competition), Dan Tapscott (the Blue Print of Digital Economy), Ari De Geus (the Living Company) dan lain-lain.
Selain kasus-kasus pada industri yang telah berdiri lama, kedua penulis juga menampilkan studi terhadap 108 perusahaan yang melakukan business launch dengan paradigma blue ocean dan red ocean strategy. Sebanyak 86% dari jumlah perusahaan diatas melakukan business launch dengan menggunaan paradigma red ocean strategy menghasilkan 62% pendapatan dengan dampak keuntungan sebesar 39%, sebaliknya dari 14% dari jumlah perusahaan diatas melakukan business launch menggunakan paradigma blue ocean strategy menghasilkan 38% pendapatan dengan laba bersih sebesar 61%. Dengan kata lain, paradigma blue ocean strategy sebenarnya lebih menjamin efektifitas bisnis dari sisi bottom line bisnis, laba bersih.
Menurut kedua penulis, kunci dari strategi ini adalah value innovation yang merupakan logika stratejik yang berbeda dengan logika para inkumben. Konsepsi ini memberikan peluang lompatan nilai yang dinikmati pelanggan dan selanjutnya menghasilkan nilai yang lebih tinggi bagi perusahaan, karena mengkombinasikan proses yang yang berbiaya lebih rendah dengan nilai (value) yang lebih tinggi. Hal itu dimungkinkan dengan cara mengawinkan inovasi dengan kegunaan (utility), harga dan posisi biaya pada industri dan batas-batas pasar yang tidak given. Dengan kata lain, lintas pasar dan lintas industri dapat terjadi karena strategic moves yang dilakukan perusahaan membuat batas-batas tersebut menjadi tidak relevan lagi. Pada kasus Cirque du Soleil misalnya, para peminat opera, musik dan tarian berkelas, live show entertainment antri panjang untuk menyaksikan pertunjukan Cirque du Soleil di seluruh dunia. Dengan prinsip ini, maka pemikiran dikotomi (trade-off) antara value vs cost tidak akan terjadi, tidak seperti halnya yang dinyatakan pada paradigma samudera merah yang berbasis pemikiran Porterian.
Pada buku ini, ada enam prinsip strategi lautan biru yang terbagi dalam dua tahap proses yang berkelanjutan dan selayaknya dilakukan secara konsisten, yakni proses formulasi dan pelaksanaan strategi. Proses formulasi terdiri atas empat tahap yakni: (i) lakukan rekonstruksi batas pasar, upaya ini akan mendorong perusahaan untuk keluar dari batas-batas industri dimana perusahaan berada selama ini, karena kondisi pasar bukanlah bersifat given, (ii) fokuskan pada konsep besar bisnis, kaitkan keberadaan perusahaan dengan bottom line bisnis dan tidak terjebak pada angka-angka teknis dan kegiatan operasional selama ini. Dengan pemikiran ini, cara pandang bisnis akan berkembang tanpa terhambat oleh teknis operasional yang selama ini dikuasai dan dijalankan bertahun-tahun oleh perusahaan, (iii) jangkau permintaan pelanggan potensial, diluar para pelanggan saat ini. Lakukan kajian dan kembangkan peluang permintaan dari bukan para pelanggan tradisional selama ini, dan (iv) Dapatkan tahapan strategis yang harus di-deliver perusahaan, dengan upaya memadukan penawaran manfaat (benefits) yang dapat diberikan kepada para pelanggan potensial tersebut, dengan cara melakukan inovasi nilai (value inovation) dengan fokus pada manfaat bagi pelanggan potensial, harga yang pantas, biaya yang masuk akal, dan adopsi inovasi yang berkelanjutan. Dengan cara ini, perusahaan telah menetapkan ruang putih (white space) yang tidak terisi oleh para pesaingnya. Mengapa? Karena para pesaing sedang memperebutkan ruang lain yang sudah berisi para pemain lain pada pasar yang sudah ada.
Selanjunya, tahapan eksekusi strategi samudera biru ini terdiri atas: (i) atasi hambatan organisational yang sering terjadi pada organisasi, terutama adanya ketakutan terhadap perubahan (resistence of change) karena kesadaran (kognisi) dan motivasi yang belum timbuh dan sumberdaya yang terbatas. Lakukan transformasi sikap mental baru didalam perusahaan dengan cara meyakinkan perubahan akan menghasilkan manfaat bernilai bagi perusahaan dalam jangka waktu tertentu, namun memerlukan pengorbanan dan kerja keras manajemen dan karyawan dalam jangka pendek. Lakukan aliansi-aliansi bisnis, bila diperlukan, pada bidang-bidang yang bukan kompetensi inti perusahaan dengan prinsip efektifitas dan efisiensi, dan (ii) lakukan eksekusi strategi dengan sukacita, dengan cara melibatkan semua sumberdaya yang dimiliki perusahaan dengan komitmen penuh. Proses eksekusi ini membutuhkan komitmen dan kerja keras semua pihak. Kedua pakar ini menyebut model kepemimpinan tipping-point leadership (Bab 7) dibutuhkan untuk memandu dan mempimpin perubahan kognisi, menggerakan sumberdaya, menumbuhkan motivasi, mengatasi hambatan politik, ditengah keterbatasan waktu dan sumberdaya lainnya. Terhadap tahapan strategi ini, lakukan pengukuran kinerja yang dapat dipertanggungjawabkan untuk menjadi testimoni bahwa perubahan berbuah bagi masa depan perusahaan yang lebih baik.
Leadership is...
Leadership is learnership
It's all about constant growth and achieving more than expected;
It's searching for opportunities in everyday activities and learning through experience;
It's about building skills for today and tomorrow.
(John F. Kennedy's undelivered speech as quoted by DDI's Achieving Your Leadership Potential Workbook)
It's all about constant growth and achieving more than expected;
It's searching for opportunities in everyday activities and learning through experience;
It's about building skills for today and tomorrow.
(John F. Kennedy's undelivered speech as quoted by DDI's Achieving Your Leadership Potential Workbook)
Inbox
Monday, June 11, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment