Leadership is...

Leadership is learnership

It's all about constant growth and achieving more than expected;

It's searching for opportunities in everyday activities and learning through experience;

It's about building skills for today and tomorrow.

(John F. Kennedy's undelivered speech as quoted by DDI's Achieving Your Leadership Potential Workbook)

Inbox

Monday, June 11, 2007

Knowledge Management

Academic Paper
Manajemen Pengetahuan Untuk Keunggulan Perusahaan
Oleh : Ahmad Emye

Pertanyaan soal bagaimana membangun keunggulan perusahaan sering diajukan oleh para praktisi bisnis dan akademisi. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa kemampuan perusahaan untuk memahami perubahan lingkungan kompetisi dalam sebuah industri, untuk selanjutnya dapat direspon dengan value proposition atau pilihan positioning dalam sebuah rangkaian rantai nilai (value chain) akan menentukan kinerja akhir perusahaan. Sedangkan sebagian lainnya berpandangan bahwa kemampuan membangun sumberdaya yang bernilai (valuable), langka (rare), tak dapat ditiru (in-imitable) dan tak tergantikan (non substitable) merupakan sumber utama keunggulan perusahaan pada industri apapun yang dipilihnya. Belakangan, kedua pandangan tersebut saling berinteraksi dan melengkapi satu sama lain (Amit dan Shoemaker, 1993; Hitt et. al., 2005). Kedua sudut pandang yang berbeda tersebut telah menjadi main stream ilmu manajemen stratejik dalam tiga puluh tahun terakhir dan mendapat perhatian secara bergantian. Sebelumnya Mintzberg et al. (1998) menyatakan bahwa terdapat sepuluh school of thoughts dalam penentuan strategi perusahaan untuk membangun keunggulannya, diantaranya; design school of thought, positioning school of thought, learning school of thought dan lain-lain.

Dari berbagai pandangan tersebut, satu hal yang menarik adalah terdapatnya kesamaan dalam melihat sumber atau penyebab dari perubahan dinamika industri dan strategi yang dijalankan perusahan. Hitt et. al. (2005) menyebut beberapa faktor diantaranya globalisasi dan digitalisasi, sejalan dengan Ohmae (1995) yang menyatakan globalisasi, liberalisasi perdagangan, teknologi informasi, dan industrialisasi. Ada kecenderungan pendorong perubahan lebih bersifat eksternal yang disebabkan oleh kondisi turbulensi dalam bidang teknologi dan pasar.
Selanjutnya, Leibold et al. (2005) menyebutkan beberapa tren yang terjadi pada perilaku organisasi perusahaan seperti: (i) perubahan apresiasi terhadap informasi menjadi knowledge dan wisdom; (ii) perubahan praktek birokrasi menjadi jejaring; (iii) orientasi pelatihan menjadi pembelajaran; (iv) lokal menjadi transnational/global dan bahkan metanational; (v) pemikiran tentang persaingan menjadi kolaborasi; dan (vi) hubungan organisasional secara tunggal menjadi ekosistem bisnis dengan stakeholder yang berbeda. Beberapa perkembangan tersebut diatas telah menyebabkan adanya kecenderungan perusahaan menciptakan dan menggunakan sumberdaya pengetahuan untuk membangun keunggulannya.

Banyak kalangan menilai bahwa sistem informasi telah menjadi salah satu faktor yang paling berperan dalam impelementasi manajemen pengetahuan yang berdampak pada kinerja perusahaan. Meskipun demikian, perkembangan manajemen pengetahuan sebagai sumber keunggulan perusahaan telah tumbuh dan menjadi kesadaran lama dari para pemikir manajemen (Polanyi, 1966; Nonaka dan Takeuchi, 1995). Dalam praktek manajemen pengetahuan, de Geus (1995) telah menjelaskan bagaimana keberhasilan Shell telah menjalankan praktek manajemen pengetahuan dengan menjalankan organisasi yang menjalankan prinsip-prinsip pembelajaran organisasional bagaikan makhluk hidup (living organism).

Apa sebenarnya manajemen pengetahuan (knowledge management) itu? Tulisan ini merupakan uraian akademis yang berusaha menjelaskan manajemen pengetahuan secara umum.

Manajemen Pengetahuan (knowledge management)
Pada tahun 1992, Bruce Kogut dan Udo Zander memperkenalkan kontribusi pemikirannya yang memperkuat pemikiran Michael Polanyi (1966) tentang pengetahuan sebagai sumberdaya organisasi yang paling menentukan kinerja organisasi. Polanyi (1966) membagi pengetahuan menjadi implicit (yang terdapat pada manual, sistem dan prosedur dan sejenisnya) dan tacit (yang terdapat pada pengalaman dan pengetahuan yang tidak tertulis lainnya). Menurutnya, ada dimensi yang tidak tertulis di dalam sistem dan prosedur perusahaan yang melekat pada setiap individu di dalam perusahaan. Kogut dan Zander (1992) menerjemahkan perlunya proses pembelajaran yang mengintegrasikan pembelajaran internal dan eksternal kedalam sebuah konsep kapabilitas yang dikenal dengan combinative capabilities. Keduanya membedakan pengetahuan dari sisi informasi dan know-how.

Pemikiran Kogut dan Zander tersebut intinya menyatakan bahwa perubahan kondisi pasar harus dihadapi organisasi dengan menjalankan pengelolaan teknologi yang berbasis prinsip manajemen pengetahuan, baik yang berupa informasi maupun know-how, dimana pengetahuan menjadi sumberdaya yang menentukan keunggulan perusahaan. Pemikiran ini selanjutnya diperkuat oleh Senge (1990), Nonaka dan Takeuchi (1995) dan lain-lain. Oleh karena itu, pengetahuan baru harus dikembangkan terus menerus agar perusahaan mampu menciptakan keunggulan kompetitif pada lingkungan usaha masing-masing.

Meskipun resource-based view (RBV) telah berkembang tersendiri, sebagian peneliti berpandangan bahwa manajemen pengetahuan ini merupakan pengembangan dari RBV (Teece et al., 1997) yang merupakan perluasan dari kekuatan sumberdaya yang memiliki keunggulan penguasaan sumberdaya, diantaranya sumberdaya pengetahuan. Menurut Nonaka dan Takeuchi (1995), manajemen pengetahuan didefinisikan sebagai: “proses penciptaan pengetahuan, teknologi dan sistem baru secara kontinyu, penyebaran secara luas melalui organisasi dan mewujudkannya dalam bentuk produk atau jasa baru dengan cepat, serta membuat perubahan dalam organisasi”.

Penulis mencatat bahwa Nonaka dan Takeuchi (1995) memperkuat pandangan Polanyi (1966) dan Kogut dan Zander (1992) yang menyatakan bahwa pengetahuan dibagi menjadi dua yaitu:
(i) pengetahuan eksplisit (explicit knowledge), diekspresikan dalam bentuk kata-kata, nomor, bunyi, data, rumus, visual, audio visual, spesisfikasi produk, atau bentuk manual. Pengetahuan ini dapat ditransfer secara formal dan sistematis kepada individu dan kelompok; dan
(ii) pengetahuan implisit (tacit knowledge), tidak mudah dilihat dan diekspresikan. Tacit knowledge cenderung lebih bersifat personal, sulit untuk diformalkan, sulit untuk dikomunikasikan atau disebarkan kepada yang lain. Intuisi subyektif dan firasat merupakan bentuk tacit knowledge. Pengetahuan ini merupakan pengetahuan mendasar dalam diri seseorang seperti cita-cita, nilai atau emosi.

Suatu organisasi membuat dan menggunakan pengetahuan dengan mengkonversi pengetahuan implisit menjadi eksplisit dan begitu sebaliknya. Selanjutnya Takeuchi and Nonaka (2004) mengidentifikasi empat gaya konversi pengetahuan, yaitu: (i) socialization (sosialisasi) dari tacit menjadi tacit. Merupakan pembuatan dan penyebaran tacit knowledge melalui pengalaman langsung, dari individu ke individu; (ii) externalization (eksternalisasi) dari tacit menjadi eksplisit. Merupakan artikulasi tacit knowledge melalui dialog dan refleksi, yaitu dari individu ke kelompok; (iii) combination (kombinasi) dari eksplisit ke eksplisit. Merupakan sistematika dan aplikasi pengetahuan eksplisit dan informasi, dari kelompok ke organisasi; dan (iv) internalization (internalisasi), dari eksplisit menjadi tacit, mempelajari dan memenuhi praktek tacit knowledge yang baru, dari organisasi ke individu.

Perspektif manajemen pengetahuan inilah yang memperkuat pandangan RBV, dimana aset spesifik perusahaan yang berupa sumberdaya dan kapabilitas yang unik dan sulit ditiru sebagai basis keunggulan, memasukkan unsur pengetahuan sebagai sumberdaya spesifik yang terus-menerus dapat dikembangkan di dalam perusahaan, dan potensial menjadi sumber inspirasi perubahan yang terus menerus. Pengetahuan adalah sumber utama terjadinya proses inovasi terus-menerus (Drucker, 1998) dan penguatan kompetensi (Sanchez dan Heine, 2004). Telah teruji bahwa menciptakan lingkungan perusahaan yang responsif terhadap berbagai pengetahuan baru akan menciptakan kinerja perusahaan yang lebih baik.

Basis Keunggulan Perusahaan
Menurut Kay (1993), perusahaan yang unggul adalah perusahaan yang mampu membangun daya saing yang berkelanjutan pada industri masing-masing, baik dalam konteks penerimaan pasar maupun dalam konteks kinerja keuangan yang memberikan shareholders value. Sedangkan menurut Hitt et al. (2005) perusahaan yang memiliki keunggulan kompetitif adalah perusahaan yang melampau (outperforming) pesaing-pesaingnya pada industri masing-masing. Selanjutnya, kinerja unggul yang dimiliki perusahaan hendaknya berkelanjutan dan dapat bertahan dalam periode waktu tertentu.

Dalam berbagai referensi manajemen stratejik, batasan keunggulan perusahaan biasanya dapat diukur melalui kinerja pemasaran (penjualan, pangsa pasar, customer value dan lain-lain) dan kinerja keuangan (return on assets, return on equity, free cash flow, dan lain-lain) pada periode tertentu. Belakangan pilar-pilar keunggulan lebih bersifat holistik, selain mencakup empat pilar organisasi, yakni pasar, keuangan, sumberdaya manusia dan proses yang terintegrasi dalam konsep balance score-card yang diperkenalkan oleh Norton dan Kaplan, dan stakeholder value yang merupakan integrasi kinerja finansial dan non finansial pada berbagai stakeholder perusahaan (Leibold, et al., 2005).

Setelah melakukan studi eksplorasi terhadap ratusan perusahaan di seluruh dunia, Peters dan Waterman (1982) mengajukan delapan basis keunggulan perusahaan yang berujung pada kinerja finansial dan pertumbuhan perusahaan, yakni: (i) a bias for action, pengambilan keputusan yang aktif dan pas; (ii) dekat dengan pelanggan, belajar dari pihak yang dilayani; (iii) otonomi dan kewirausahaan, melakukan inovasi dan mengembangkan sikap dan mental juara; (iv) produktifitas melalui manusia di dalam perusahaan; (v) hands-on and value driven; falsafah manajemen yang memandu kegiatan setiap hari, dengan komitmen penuh dari pimpinan; (vi) menekuni binis yang dikuasai; (vii) simple form, lean staff; dan (viii) simultaneous loose-tight properties, yang memungkinkan otonomi pada level-level operasional dengan sentralisasi pada nilai-nilai perusahaan. Uraian ini masih relevan untuk diterapkan pada prinsip-prinsip pengelolan perusahaan kontemporer, termasuk di Indonesia.

Pentingya visi dan kepemimpinan ditegaskan oleh hasil penelitian Collins dan Porras (1994) terhadap berbagai perusahaan yang telah unggul dan melewati usia lebih dari 50 tahun. Selanjutnya Collins (2001) memperkuat faktor kepemimpinan manajemen puncak terhadap pencapaian eksponensial perusahaan. Kepemimpinan tersebut mendorong para pimpinan perusahaan good companies untuk membangun kinerja perusahaan yang mencapai kinerja kumulatif tiga kali lipat dari kinerja kumulatif lima belas tahun kinerja sebelumnya untuk menjadi great companies. Para pimpinan tersebut memiliki ciri yang paradoksial sebagai paradoxial blend of personal humility and profesional will. Para pemimpin perusahaan dimaksud cenderung bercirikan membangun, menciptakan, mengkontribusikan daripada memperoleh, mengarapkan popularitas, kekuasaan dan sejenisnya. Inti dari hasil penelitian Collins (2001) tersebut adalah para pimpinan perusahaan lebih menjaga reputasi untuk membangun keagungan dirinya (personal greatness) dalam makna yang mendalam, ketimbang popularitas dan simbol-simbol keberhasilan yang bersifat temporer.

Berbagai uraian di atas menunjukkan pentingya visi, pandangan jangka panjang, kemampuan manajerial dan profitability yang berkaitan dengan keunggulan yang dihasilkan perusahaan. Berbagai penelitian terakhir perihal bagaimana kapabilitas organisasional terbentuk secara terus-menerus adalah melalui proses identifikasi, adopsi dan akumulasi pengetahuan yang telah dijalankan pada berbagai perusahaan besar di dunia, baik melalui akumulasi pengetahuan yang bersifat tacit maupun explicit (Takeuchi dan Nonaka, 2004). Dengan kata lain, akumulasi sumberdaya pengetahuan pada perusahaan dapat mendorong penguatan kapabilitas organisasional secara terus-menerus.

Catatan Penutup: Agenda Membangun Organisasi Pembelajar
Tulisan ini ditutup untuk mengajak para pemimpin bisnis untuk mulai membangun nilai-nilai organisasional yang dapat mendorong terjadinya pembelajaran organisasional di dalam perusahaan. Proses pembelajaran organisasional ini merupakan esensi dari manajemen pengetahuan yang telah teruji pada berbagai perusahaan besar seperti Shell, Apple, Microsoft, Holcim, Unysis dan lain-lain. Pada kasus Indonesia, Unilever dan Wijaya Karya adalah dua perusahaan besar yang sedang berusaha menjalankan manajemen pengetahuan.

Menurut Sinkula, Baker dan Noordewier (1997), nilai-nilai di dalam pembelajaran organisasional yang harus dikembangkan di dalam perusahaan adalah sebagai berikut: (i) adanya komitmen terhadap pembelajaran; (ii) keterbukaan pandangan manajemen dan karyawan; dan (iii) shared-vision yang dilakukan terus-menerus, hal mana ketiganya merupakan nilai-nilai yang dapat dibangun dan dikembangkan dalam perusahaan yang menjalankan prinsip-prinsip manajemen pengetahuan. Mari bangun nilai-nilai tersebut di dalam organisasi yang kita kelola, karena pengetahuan demikian luas dan terbuka untuk dapat diserap, ditransfer dan diasimilasikan kedalam kapabilitas organisasi untuk memanfaatkan berbagai peluang yang semakin terbuka kita hadapi pada era ekonomi baru dimana dunia semakin borderless. Welcome to the era of knowledge economy!

REFERENSI
Amit, R, dan Schoemaker, P.J. (1993). “Strategic Assets and Organization Rents”. Strategic Management Journal, vol 14 (1), hal 33-46.
Collins, James C. dan Jerry I. Porras (1994). Built to Last: Succesful Habits of Visionary Companies. Harper Business: A Division of HarperCollins Publisher.
de Geus, Arie (1996). The Living Company: Habits for Survival in a Turbulent Business Environment. Harvard Business School Pers, Longview Publishers Limited.
Drucker, Peterss F (1998). “The Disciplines of Innovation”. Harvard Business Review (November-Desember), hal 149-157.
Hitt, Michael A., R. Duanne Ireland dan Robert Hoskisson (2005). Strategic Management : Competitiveness and Globalization. International Student Edition. Thomson Corporation, South-Western. USA.
Kay, John (1993). Foundations of Corporate Success. Oxford University Pers. New York.
Kogut, Bruce dan Udo Zander (1992). Knowledge of the Firm, Combinative Capabilities, and the Replication of Technology”. Resources, Firms, and Strategies, (Foss, 1997, Editors). Oxford University Press.
Leibold, Marius, Gilbert Probst, dan Michael Gibbert (2005). Strategic Management in the Knowledge Economy- New Approaches and Business Applicatiuons. 2nd Edition. Publicis Corporate Publication dan Wiley, Erlangen.
Mintzberg, Henry, Bruce Ahlstrand, dan Joseph Lampel (1998). Strategy Safary: A Guided Tour Through The Wilds of Strategic Management. Free Pers. New York. NY 10020.
Nonaka, Ikujiro dan H. Takeuchi (1995). The Knowledge-Creating Company: How Japanese Company Create Dynamics of Innovation. Oxford University Pers. New York.
Ohmae, Kenichi (1995). The End of Nation State. Harvard Business Pers, Boston, MA.
Peters, Tom dan Robert E. Waterman (1982). In Search of Excellence. Warner Books.
Sanchez, Roy dan Aime Heene (2004). The New Strategic Management – Organization, Competition, and Competence. John Wiley & Son Inc. USA.
Sinkula, James, W. E. Baker dan Thomas Noordewier (1997). “A Framework for Market-based Organization Learning – Linking Values, Knowledge, and Behaviour”. Academy of Marketing Science, Fall 1997, vol 25,4, hal. 306-318.
Takuechi, Hirotaka dan Ikujiro Nonaka (2004). Hitotsubashi on Knowledge Management. John Wiley and Sons (Asia) Pte Ltd, Singapore.
Teece J. David, Gary Pisano, dan Amy Shuen (1997). “Dynamic Capabilities and Strategic Management”. Strategic Management Journal, vol. 18, 7, hal. 509-533.

No comments: