Penyampai khutbah sepertinya tuna netra, kusimpulkan dari jauh dari caranya menatap hadirin. Beliau menyampaikan uraian tentang makna ibadah Kurban dengan sangat menarik, terutama tentang komitmen setiap manusia yang beriman untuk ikhlas berkorban demi tujuan hidup yang lebih besar dan sejati.
Semakin aku menyimak isi khutbahnya, semakin larut aku pada ajakannya. Hatiku tiba-tiba bergetar oleh artikulasi penyampai khutbah yang mampu memberikan contoh-contoh pengorbanan manusia-manusia besar baik pada masa lalu maupun masa kini. Ajakannya untuk berbagi membuat sebagian besar jamaah yang hadir, yang umumnya bukan tuna netra, terdiam menyimak khusyu.
Beliau menyampaikan ajakan untuk meraih kebahagiaan spiritual sebagai kebahagiaan tertinggi, bila kita lebih banyak memberi dan berbagi, ketimbang mengharap menerima. Ada kebahagiaan pada nurani kita bilamana kita lebih banyak memberi, demikian katanya.
Aku merasakan getaran tambah kuat saat kata-katanya mengalir penuh makna sedalam M. Natsir (alm) dengan artikulasi sekelas salah satu komunikator terbaik di negeri ini yang kukagumi, Jalaludin Rachmat.
Subhanallah. Seorang tuna netra mengajak kita berbagi, padahal boleh jadi sebagian dari kita sering iba melihat mereka. Aku jadi teringat pada perbincanganku dengan para tuna netra sebelumnya, mereka selalu bilang tidak ingin dikasihani. Mereka hanya berharap mendapat kesempatan untuk berbuat.
Setelah shalat Jumat selesai, aku menghampirinya dan mengajaknya berkenalan, sembari berterima kasih atas isi khutbahnya. Nama beliau adalah H. Aan Zuhana (67 tahun), tinggal di Cibeber, Cimahi, Bandung. Beliau menyapaku dengan ramah, alhamdulillah harapanku berkenalan disambutnya dengan baik.
Selanjutnya, sahabat dapat mengklik:
No comments:
Post a Comment