KNOWLEDGE ENTERPRISE
Oleh : Ahmad Mukhlis Yusuf[1]
Baru-baru ini, TELEOS, sebuah lembaga konsultan asing bekerjasama dengan Dunamis, melanjutkan kontes pemilihan MAKE yang telah berhasil diselenggarakan di berbagai negara. MAKE (most admired knowledge enterprises) adalah ajang pemilihan organisasi yang telah berhasil menjalankan manajemen pengetahuan dengan berbagai kriteria yang ketat. Bersama dengan Astra International, Unilever, Wijaya Karya, ITB dan lain-lain, Universitas Bina Nusantara (BINUS) terpilih sebagai salah satu organisasi yang telah teruji memenuhi kriteria terbaik sebagai knowledge enterprise. Organisasi pemenang MAKE tersebut juga telah teruji menjadi organisasi yang memiliki kinerja yang positif. Perkembangan BINUS yang pesat, terutama dalam sepuluh tahun terakhir, sangat didukung oleh penerapan manajemen pengetahuan, dimana komitmen manajemen, passion terhadap eksekusi dan peran teknologi informasi yang menjadi enabler untuk mengintegrasikan seluruh komunitas BINUSIAN sebagai sebuah masyarakat pengetahuan untuk menjadi landasan dalam mewujudkan visi BINUS 20/20 sebagai a world-calss knowledge enterprise. Penghargaan tersebut semakin menunjukkan bahwa ada korelasi yang kuat antara penerapan manajemen pengetahuan dengan kinerja organisasi.
Knowledge Enterprise dan Kinerja Organisasi
Pertanyaan soal strategi membangun kinerja organisasi (baik profit maupun non profit) sering diajukan oleh para eksekutif. Sebagian kalangan berpendapat bahwa kemampuan organisasi untuk memahami perubahan lingkungan kompetisi dalam sebuah industri, untuk selanjutnya dapat direspon dengan pilihan positioning tertentu dalam sebuah rangkaian rantai nilai (value chain) industri adalah strategi tepat membangun kinerja. Positioning disini diartikan sebagai pilihan aktifitas organisasi dalam sebuah rantai nilai industri dari proses inbound, produksi, sales dan marketing, dan seterusnya, dimana organisasi dapat memilih aktifitas yang paling bernilai secara ekonomis. Pilihan Astra untuk bermitra dengan para pemasok komponen otomotif ketimbang memproduksi sendiri adalah strategi positioning yang telah teruji mengantarkan Astra sebagai perusahaan yang efisien dan mampu menghasilkan nilai ekonomis bagi organisasi.
Sebagian kalangan lain berpandangan bahwa kinerja organisasi ditentukan oleh keunggulan sumberdaya (resources) yang terus diasah dan diperbaharui. Jay B. Barney dalam Gaining and Sustaining Competitive Advantage (2007) menyatakan bahwa sumberdaya tersebut harus memenuhi kriteria VRIN; bernilai (valuable), langka (rare), tak dapat ditiru (in-imitable) dan tak tergantikan (non substitable). Keunggulan sumberdaya ini melahirkan berbagai strategi pengembangan sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya yang dapat melahirkan inovasi, teknologi dan infrastruktur organisasi yang menopang profitability dan pertumbuhan secara berkelanjutan. Kemampuan Steve Jobs menarik para programer-programer brilian di Apple tidak berhenti pada upaya merekrut SDM yang bertalenta, namun juga disertai dengan penciptaan suasana dan sistem kerja yang kondusif terhadap lahirnya inovasi dan alokasi anggaran perusahaan dalam melakukan research and development (R & D) yang terus-menerus. Pada kasus lokal, seperti diakui oleh CEO Kompas Gramedia, Agung Adiprasetyo, saat CEO Speaks pada BINUS Business School, menyatakan bahwa alasan pimpinan TV7 memilih bermitra strategis dengan TransTV, karena manajemen TransTV mampu menekan biaya operasional stasiun TV yang merupakan komponen terbesar dalam bisnis media TV yang menyertai strategi manajemen dalam menentukan pilihan-pilihan program yang cerdas, dimana kemampuan tersebut diperoleh oleh proses pembelajaran kolektif (collective learning) oleh manajemen dan kru TransTV. Sumberdaya TransTV yang muda dan dinamis telah menempatkan stasiun tersebut menjadi salah satu stasiun yang menikmati pertumbuhan paling pesat dalam lima tahun terakhir.
Belakangan diakui bahwa kedua pandangan tersebut sesungguhnya saling melengkapi, dimana sumberdaya unggul amat dibutuhkan, selain strategi pemilihan positioning cerdas organisasi pada sebuah rantai nilai industri. Kecerdikan Apple yang berhasil memperkenalkan iTune sebagai terobosan bisnis yang mengagumkan, dimana pengembangan teknologi iTune yang disertai dengan model bisnis yang terintegrasi dengan layanan downloading berbagai konten yang memiliki segmentasi yang jelas membuat Apple kembali menjadi perusahaan yang dikagumi di seluruh dunia.
Dimana konteks knowledge enterprise yang menjadi inti tulisan ini? terlihat bahwa sumber pengendali kinerja organisasi terletak pada keunggulannya pada kepemimpinan eksekutif, kualitas manusia, budaya inovasi, dan sistem yang terbangun di dalam berbagai organisasi yang disebutkan di atas, baik pada skala lokal maupun global. Marius Leibold dkk dalam Strategic Management in the Knowledge Economy (2005) menyebutkan beberapa tren yang terjadi pada berbagai organisasi di dunia, diantaranya (i) perubahan apresiasi terhadap informasi menjadi knowledge dan wisdom; (ii) perubahan praktek birokrasi menjadi jejaring; (iii) orientasi pelatihan menjadi pembelajaran; (iv) ranah lokal menjadi transnational/global dan bahkan metanational; (v) pemikiran tentang persaingan menjadi kolaborasi; dan (vi) hubungan organisasional secara tunggal menjadi ekosistem bisnis dengan stakeholder yang berbeda. Selanjutnya, Marius Leibold dkk menguraikan berbagai korelasi kuat antara perilaku organisasi pembelajar dengan kinerja perusahaan pada era ekonomi saat ini.
Darwin Silalahi (CEO Shell Indonesia) pada acara CEO Speaks baru-baru ini juga memperkuat temuan Senge (1990) yang menguraikan bagaimana Shell telah menjalankan praktek manajemen pengetahuan sebagai strategi perusahaan untuk terus tumbuh, dimana pembelajaran organisasional telah menjadi kebutuhan organisasi. Ciri-ciri organisasi belajar yang terus tumbuh tersebut merupakan ciri makhluk hidup (living organism) yang memiliki ruh dan jiwanya. Oleh karena itu, tak terbantahkan lagi bahwa upaya organisasi dalam menciptakan dan menggunakan sumberdaya pengetahuan yang melekat pada manusia dan sistem organisasi akan dapat membangun kinerja organisasi secara berkelanjutan.
Manajemen Pengetahuan (knowledge management)
Melanjutkan pemikiran Michael Polanyi (1966), Bruce Kogut dan Udo Zander (1992) kemudian memperkenalkan pemikiran yang menyatakan bahwa perubahan kondisi pasar harus dihadapi organisasi dengan menjalankan pengelolaan teknologi yang berbasis prinsip manajemen pengetahuan, baik yang berupa informasi maupun know-how, dimana pengetahuan menjadi sumberdaya yang menentukan keunggulan daya saing perusahaan. Pemikiran ini terus dikembangkan oleh berbagai pakar yang bersumber dari riset-riset aplikatif pada berbagai industri dan sektor bisnis. Sayangnya, belum banyak referensi tentang riset perusahaan lokal di negeri ini. Riset penulis pada tahun 2004-2005 membuktikan bahwa organisasi yang memiliki nilai-nilai pembelajaran organisasional (shared-vision, commitment to learning, dan open-mindedness) telah teruji bertahan saat krisis ekonomi yang panjang.
Selanjutnya, Nonaka dan Takeuchi (1995) memberikan batasan bahwa manajemen pengetahuan didefinisikan sebagai: “proses penciptaan pengetahuan, teknologi dan sistem baru secara kontinyu, penyebaran secara luas melalui organisasi dan mewujudkannya dalam bentuk produk atau jasa baru dengan cepat, serta membuat perubahan dalam organisasi”. Keduanya membagi pengetahuan menjadi dua yaitu: (i) pengetahuan eksplisit (explicit knowledge), diekspresikan dalam bentuk kata-kata, nomor, bunyi, data, rumus, visual, audio visual, spesifikasi produk, atau bentuk manual. Pengetahuan ini dapat ditransfer secara formal dan sistematis kepada individu dan kelompok; dan (ii) pengetahuan implisit (tacit knowledge), tidak mudah dilihat dan diekspresikan. Tacit knowledge cenderung lebih bersifat personal, sulit untuk diformalkan dan dikomunikasikan atau disebarkan kepada yang lain. Intuisi subyektif dan firasat merupakan bentuk tacit knowledge. Pengetahuan ini termasuk hal-hal yang mendasar dalam diri seseorang seperti visi, nilai-nilai yang dianut, kecerdasan emosi, pengalaman dan sejenisnya,
Suatu organisasi dikatakan menjalankan pengetahuan dengan mengkonversi pengetahuan implisit menjadi eksplisit dan begitu sebaliknya. Selanjutnya Takeuchi and Nonaka (2004) mengidentifikasi empat gaya konversi pengetahuan yang disingkat SECI, yaitu: (i) socialization (sosialisasi) dari tacit menjadi tacit; merupakan pembuatan dan penyebaran tacit knowledge melalui pengalaman langsung dari individu ke individu; (ii) externalization (eksternalisasi) dari tacit menjadi eksplisit; merupakan artikulasi tacit knowledge melalui dialog dan refleksi, yaitu dari individu ke kelompok; (iii) combination (kombinasi) dari eksplisit ke eksplisit, yang merupakan sistematika dan aplikasi pengetahuan eksplisit dan informasi, dari kelompok ke organisasi; dan (iv) internalization (internalisasi), dari eksplisit menjadi tacit; yang mempelajari dan memenuhi praktek tacit knowledge yang baru, dari organisasi ke individu. Dengan kata lain, menerapkan manajemen pengetahuan yang merupakan inti dari proses membangun knowledge enterprise adalah proses dinamis yang membutuhkan kerja cerdas para eksekutif organisasi. Proses mewudukan knowledge enterprise bukanlah proses yang instan.
Membangun Knowledge Enterprise
Tulisan ini ditutup untuk mengajak para eksekutif organisasi untuk mulai membangun nilai-nilai organisasional yang dapat mendorong terjadinya pembelajaran terus-menerus di dalam organisasi masing-masing. Proses pembelajaran organisasional ini merupakan esensi dari manajemen pengetahuan yang telah teruji pada berbagai perusahaan pemenang MAKE dan berbagai perusahaan kelas dunia seperti Shell, Apple, Microsoft, Holcim, Unilever dan lain-lain.
Membangun knowledge enterprise adalah sebuah visi dan sekaligus komitmen. Sebagai sebuah visi, knowledge enterprise sejatinya diterjemahkan kedalam strategi dan tindakan-tindakan yang mengarah pada pencapaian visi tersebut. Seorang futurolog, Joel Arthur Barker menyatakan bahwa vision is dream and actions. Knowledge enterprise melekat pada manusia-manusia di dalam organisasi, nilai-nilai dan budaya organisasi, infrastruktur serta sistem yang menunjangnya. Keempatnya menjadi pilar-pilar yang menyangga kekuatan organisasi yang terus tumbuh pada lingkungan organisasi yang terus bergerak dinamis. Membangun knowledge enterprise merupakan esensi dari manajemen perubahan (change management), yang kini diserukan oleh banyak pemimpin bisnis di negeri ini. Welcome to the era of knowledge economy!
[1] Program Director MM Business Management, BINUS Business School dan Senior Partner Strategy Consulting (www.strategy.co.id). Penulis dapat dihubungi di ahmadmy@indosat.net.id
Leadership is...
Leadership is learnership
It's all about constant growth and achieving more than expected;
It's searching for opportunities in everyday activities and learning through experience;
It's about building skills for today and tomorrow.
(John F. Kennedy's undelivered speech as quoted by DDI's Achieving Your Leadership Potential Workbook)
It's all about constant growth and achieving more than expected;
It's searching for opportunities in everyday activities and learning through experience;
It's about building skills for today and tomorrow.
(John F. Kennedy's undelivered speech as quoted by DDI's Achieving Your Leadership Potential Workbook)
Inbox
Thursday, August 23, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 comments:
Selamat tuk Binus yang menjadi Knowledge Enterprise.
Beberapa bulan terakhir, saya bertemu beberapa pejabat di Pemda Banten
Selalu saya tanyakan posisi Banten di masa depan.
Dan selalu jawaban para birokrat Banten itu lebih menciutkan hati mereka sendiri.
Knowledge Enterprise (KE)jelas menjadi solusi bagi organisasi pemerintah seperti Pemda Banten.
Di Baitul Hamdi, Menes telah ada RUMAH BACA plus.
Waktu mendirikan belum tahu tentang KE. Sekarang jadi semangat tuk mengarah kesana.
Targetnya:
BAITUL HAMDI menjadi pesantren pertama yang jadi KE.
Banten menjadi propinsi pertama yang jadi KE.
InsyaALLAH.
Mohon dukungan semuanya
Membangun Knowledge sebagai landasan terbentuknya Knowledge Enterprise, menjadi sebuah keniscayaan.
Tetapi, terpenting menurut saya,adalah bagaimana setiap organisasi, institusi maupun korporasi mampu menciptakan sebuah buadaya bernama "Knowledge Exchange". Sebab, apapun basis knowledge yang telah Anda kembangkan menjadi sulit diimplementasikan tanpa terjadi mekanisme "Pertukaran Pengetahuan".
Dengan demikian, level pengetahuan akan menjadi simetris bagi satu sama lainnya.
Membangun Knowledge sebagai landasan terbentuknya Knowledge Enterprise, menjadi sebuah keniscayaan.
Tetapi, terpenting menurut saya,adalah bagaimana setiap organisasi, institusi maupun korporasi mampu menciptakan sebuah buadaya bernama "Knowledge Exchange". Sebab, apapun basis knowledge yang telah Anda kembangkan menjadi sulit diimplementasikan tanpa terjadi mekanisme "Pertukaran Pengetahuan".
Dengan demikian, level pengetahuan akan menjadi simetris bagi satu sama lainnya.
Post a Comment