IMPIAN DUA ANAK DESA KELILING DUNIA
Ahmad Mukhlis Yusuf
"Be careful of your wish for, because it may happen (Anonymous)"
Masa depan, apakah ia dimiliki oleh orang-orang tertentu? Atau ia bebas dimiliki siapa saja? Saya ingin menuturkan dua kisah anak desa yang membuktikan ia milik siapa saja.
Pada suatu malam pada tahun 1981 di sebuah kamar berukuran 3x4 meter, sambil menikmati pisang ambon kegemaran kami, saya mendengarkan dengan seksama penuturan seorang sahabat tentang impiannya untuk keliling dunia. Ia bercerita sambil menggenggam sebuah buku kisah perjalanan. Saya lupa judulnya.
Kami berdua bertetangga, tinggal di kampung, di sebuah kota kecil, Pandeglang, Banten. Membaca buku merupakan kemewahan bagi kami saat itu. Ada dua cara yang biasanya kami lakukan untuk mendapatkan buku; pertama, pinjam kepada Harry, anak dokter satu-satunya di kota kami saat itu. Kedua, pinjam ke perpustakaan umum, sekitar lima kilometer di pusat kota.
U. Saefudin, nama sahabat kecil itu. Belakangan ia tambahkan nama ayahnya, Noer, di belakang namanya. Saya sering memanggilnya Ka Udin, sebab ia lebih tua setahun. Saefudin sangat menghormati kedua orangtuanya. Belakangan, setelah ia bekerja, orang-orang memanggilnya sebagai Pa Uu.
Sejak kecil saya mengenalnya sebagai pribadi yang senang berorganisasi dan sarat prestasi akademik. Dua hal yang kadang saling bertentangan dan saling meniadakan, namun tidak bagi Saefudin.
Di sela-sela belajar bareng, dia sering menunjukkan buku-buku puisi karya WS Rendra dan puisi-puisi karyanya yang dimuat di majalah Hai. Ada bakat besar untuk menjadi penyair pada dirinya, karena ia juga sarat dengan prestasi seni baca puisi. Saking seringnya menang perlombaan baca puisi, ia dilarang ikutan lomba lagi di tingkat kabupaten dan justru dijadikan juri oleh guru SMP kami.
Saefudin mampu memadukan kegairahan belajar di kelas, hobi berorganisasi di luar kelas dan keluasan pergaulannya dengan para seniman dan penggiat aktivitas kemasyarakatan, termasuk Pramuka. Ia tidak pernah terlihat lelah bila sedang berorganisasi. Diam-diam, saya belajar darinya, sembari mengagumi berbagai kelebihannya. Tentu, tak ada manusia yang sempurna.
Masa depan, apakah ia dimiliki oleh orang-orang tertentu? Atau ia bebas dimiliki siapa saja? Saya ingin menuturkan dua kisah anak desa yang membuktikan ia milik siapa saja.
Pada suatu malam pada tahun 1981 di sebuah kamar berukuran 3x4 meter, sambil menikmati pisang ambon kegemaran kami, saya mendengarkan dengan seksama penuturan seorang sahabat tentang impiannya untuk keliling dunia. Ia bercerita sambil menggenggam sebuah buku kisah perjalanan. Saya lupa judulnya.
Kami berdua bertetangga, tinggal di kampung, di sebuah kota kecil, Pandeglang, Banten. Membaca buku merupakan kemewahan bagi kami saat itu. Ada dua cara yang biasanya kami lakukan untuk mendapatkan buku; pertama, pinjam kepada Harry, anak dokter satu-satunya di kota kami saat itu. Kedua, pinjam ke perpustakaan umum, sekitar lima kilometer di pusat kota.
U. Saefudin, nama sahabat kecil itu. Belakangan ia tambahkan nama ayahnya, Noer, di belakang namanya. Saya sering memanggilnya Ka Udin, sebab ia lebih tua setahun. Saefudin sangat menghormati kedua orangtuanya. Belakangan, setelah ia bekerja, orang-orang memanggilnya sebagai Pa Uu.
Sejak kecil saya mengenalnya sebagai pribadi yang senang berorganisasi dan sarat prestasi akademik. Dua hal yang kadang saling bertentangan dan saling meniadakan, namun tidak bagi Saefudin.
Di sela-sela belajar bareng, dia sering menunjukkan buku-buku puisi karya WS Rendra dan puisi-puisi karyanya yang dimuat di majalah Hai. Ada bakat besar untuk menjadi penyair pada dirinya, karena ia juga sarat dengan prestasi seni baca puisi. Saking seringnya menang perlombaan baca puisi, ia dilarang ikutan lomba lagi di tingkat kabupaten dan justru dijadikan juri oleh guru SMP kami.
Saefudin mampu memadukan kegairahan belajar di kelas, hobi berorganisasi di luar kelas dan keluasan pergaulannya dengan para seniman dan penggiat aktivitas kemasyarakatan, termasuk Pramuka. Ia tidak pernah terlihat lelah bila sedang berorganisasi. Diam-diam, saya belajar darinya, sembari mengagumi berbagai kelebihannya. Tentu, tak ada manusia yang sempurna.
Selengkapnya, sahabat dapat mengklik http://www.antaranews.com/kolom/?i=1256267147
No comments:
Post a Comment